MALPRAKTIK DAN UNDANG-UNDANG YANG MENGATURNYA
A.
PENGERTIAN DAN
JENIS-JENIS MALPRAKTEK
Ada dua istilah yang sering dibicarakan secara bersamaan dalam
kaitannya dengan mal praktik yaitu kelalaian dan malpraktik. Kelalaian adalah
melakukan sesuatu dibawah standar yang ditetapkan oleh aturan/hukum guna
melindungi orang lain yang bertentangan dengan tindakan-tindakan yang tidak
beralasan dan beresiko melakukan kesalahan. Guwandi (1994) mengatakan bahwa
kelalaian adalah kegagalan untuk bersikap hati-hati yang pada umumnya wajar
dilakukan seseorang dengan hati-hati dalam keadaan tersebut.
Dengan pengertian diatas, dapat diartikan bahwa kelalaian lebih
bersifat ketidaksengajaan, kurang teliti, kurang hati-hati, acuh tak acuh,
sembrono, tidak peduli terhadap kepentingan orang lain, tetapi akibat yang
ditimbulkan bukanlah tujuannya. Kelalaian bukan suatu pelanggaran hukum atau
kejahatan jika kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cidera kepada
orang lain dan orang itu dapat menerimanya (hanafiah & Amir, 1999). Namun,
jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan bahkan merenggut
nyawa orang lain, ini diklasifikasikan sebagai kelalaian berat(culpa lata),
serius dan kriminal.
Malpraktik tidak sama dengan kelalaian. Malpraktik sangat
spesifik dan terkait dengan status profesional dari pemberi pelayanan dan
standar pelayanan profesional. Mall praktek merupakan Kelalaian tenaga
kesehatanuntuk mempergunakan tingkat ketrampilan dan ilmu pengetahuannya yg
lazim dipergunakan dlm asuhan yang diberikan ke pasien, menurut
ukuran (standar) di lingkungan yang sama. Kelalaian memang termasuk
dalam arti malpraktik, tetapi di dalam malpraktik tidak selalu harus ada unsur
kelalaian. Malpraktik lebih luas dari pada kelalaian (negligence) karena
selain mencakup arti kelalaian, istilah malpraktik pun mencakup
tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja (criminal malpractice)
dan melanggar undang-undang.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan mal praktik
adalah:
1.
Melakukan suatu hal yang
seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan.
2.
Tidak melakukan apa yang
seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajibannya (negligence) dan;
3.
Melanggar suatu ketentuan
menurut atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Tuntutan
malpraktik dapat bersifat pelanggaran-pelanggaran berikut:
1)
Pelanggaran etika profesi
2)
Sanksi administrative
3)
Pelanggaran hukum
B.
Jenis-Jenis Malpraktek
Ngesti Lestari dan Soedjatmiko membedakan malpraktek medik
menjadi dua bentuk, yaitu malpraktek etik (ethical malpractice) dan malpraktek
yuridis (yuridical malpractice), ditinjau dari segi etika profesi dan segi
hukum.17
a. Malpraktek Etik
Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah tenaga kesehatan
melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika profesinya sebagai tenaga
kesehatan. Misalnya seorang bidan yang melakukan tindakan yang bertentangan
dengan etika kebidanan. Etika kebidanan yang dituangkan dalam Kode Etik Bidan
merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku
untuk seluruh bidan.
b. Malpraktek Yuridis
Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridis ini menjadi tiga
bentuk, yaitu malpraktek perdata (civil malpractice), malpraktek pidana (criminal
malpractice) dan malpraktek administratif (administrative malpractice).
Adapun isi dari pada tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat
berupa:
a.
Tidak melakukan apa yang
menurut kesepakatan wajib dilakukan.
b.
Melakukan apa yang
menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi terlambat melaksanakannya.
c.
Melakukan apa yang
menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi tidak sempurna dalam pelaksanaan
dan hasilnya.
d.
Melakukan apa yang
menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan
Sedangkan untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum
haruslah memenuhi beberapa syarat seperti:
1)
Harus ada perbuatan (baik
berbuat maupun tidak berbuat).
2)
Perbuatan tersebut
melanggar hukum (tertulis ataupun tidak tertulis).
3)
Ada kerugian
4)
Ada hubungan sebab akibat
(hukum kausal) antara perbuatan melanggar hukum dengan kerugian yang diderita
5)
Adanya kesalahan (schuld)
Sedangkan untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi)
karena kelalaian tenaga kesehatan, maka pasien harus dapat membuktikan adanya
empat unsur berikut:
a.
Adanya suatu kewajiban
tenaga kesehatan terhadap pasien
b.
Tenaga kesehatan telah
melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipergunakan.
c.
Penggugat (pasien) telah
menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.
d.
Secara faktual kerugian
itu diesbabkan oleh tindakan dibawah standar
B.
UU terkait Malpraktik
Undang-undang republic Indonesia nomor 36 tahun 2009 BAB VII
Tentang Kesehatan Ibu, Bayi, Anak, Remaja, Lanjut Usia, dan
Penyandang Cacat Bagian ke satu : kesehatan ibu, bayi dan anak
Pasal 126
(1) Upaya kesehatan ibu harus ditujukan untuk menjaga
kesehatan ibu sehingga mampu melahirkan generasi yang sehat dan
berkualitas serta mengurangi angka kematian ibu.
(2) Upaya kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitative.
(3) Pemerintah menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas, alat dan
obat dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan ibu secara aman, bermutu dan
terjangkau.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan ibu diatur
dengan peraturan pemerintah.
Tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan di Indonesia yang
secara langsung menggunakan istilah malpraktek. Begitu juga dalam hukum
kesehatan Indonesia yang berupa UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan tidak
menyebutkan secara resmi istilah malpraktek. Tetapi hanya menyebutkan kesalahan
atau kelalaian dalam melaksanakan profesi yaitu yang tercantum dalam Pasal 54
dan 55 UU Kesehatan.
Pasal 54:
(1) Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian
dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.
(2) Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.
(3) Ketentuan mengenai pembentukan, tugas, fungsi dan tata kerja
Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan ditetapkan dengan keputusan
Presiden.
Pasal 55:
(1) Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau
kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
BAYI TABUNG DAN UNDANG-UNDANG YANG MENGATURNYA
A.
BAYI
TABUNG
Teknik bayi tabung atau pembuahan in vitro (in
vitro fertilisation) adalah sebuah teknik pembuahan dimana sel telur (ovum)
dibuahi di luar tubuh wanita. Prosesnya terdiri dari mengendalikan proses
ovulasi secara hormonal, pemindahan sel telur dari ovarium dan pembuahan oleh
sel sperma dalam sebuah medium cair. Teknik bayi tabung pada manusia sebagai
suatu teknologi reproduksi berupa teknik menempatkan sperma di dalam vagina
wanita, pertama kali berhasil dipraktekkan pada tahun 1970. Awal berkembangnya
teknik bayi tabung bermula dari ditemukannya teknik pengawetan sperma. Sperma
bisa bertahan hidup lama bila dibungkus dalam gliserol yang dibenamkan dalam
cairan nitrogen pada temperatur -321 derajat Fahrenheit.
Pada mulanya program pelayanan ini bertujuan untuk
menolong pasangan suami istri yang tidak mungkin memiliki keturunan secara
alamiah disebabkan tuba falopii istrinya mengalami kerusakan yang permanen.
Namun kemudian mulai ada perkembangan dimana kemudian program ini diterapkan
pula pada pasutri yang memiliki penyakit atau kelainan lainnya yang menyebabkan
tidak dimungkinkan untuk memperoleh keturunan.
Dalam
melakukan fertilisasi-in-virto transfer embrio dilakukan dalam tujuh tingkatan
dasar yang dilakukan oleh petugas medis, yaitu :
1. Wanita
diberi obat pemicu ovulasi yang berfungsi untuk merangsang indung telur
mengeluarkan sel telur yang diberikan setiap hari sejak permulaan haid dan baru
dihentikan setelah sel-sel telurnya matang.
2.
Pematangan sel-sel telur dipantau setiap hari melalui pemeriksaan darah dan
pemeriksaan ultrasonografi.
3.
Pengambilan sel telur dilakukan dengan penusukan jarum (pungsi) melalui vagina
dengan tuntunan ultrasonografi.
4.
Setelah dikeluarkan beberapa sel telur, kemudian sel telur tersebut dibuahi
dengan sel sperma suami yang telah diproses sebelumnya dan dipilih yang
terbaik.
5. Sel
telur dan sperma yang sudah dipertemukan di dalam tabung petri kemudian
dibiakkan di dalam lemari pengeram. Pemantauan dilakukan 18-20 jam kemudian dan
keesokan harinya diharapkan sudah terjadi pembuahan sel
6. Embrio
yang berada dalam tingkat pembelahan sel ini kemudian diimplantasikan ke dalam
rahim wanita. Pada periode ini tinggal menunggu terjadinya kehamilan.
7. Jika
dalam waktu 14 hari setelah embrio diimplantasikan tidak terjadi menstruasi
dilakukan pemeriksaan air kemih untuk kehamilan, dan seminggu kemudian
dipastikan dengan pemeriksaan ultrasonografi.
Berdasarkan asal sumber sperma pada proses bayi
tabung maka secara teknis teknik bayi tabung terdiri dari empat jenis, yaitu:
1. Teknik
bayi tabung dari sperma dan ovum suami isteri yang dimasukkan kedalam rahim
isterinya sendiri.
2. Teknik
bayi tabung dari sperma dan ovum suami isteri yang dimasukkan ke dalam rahim
selain isterinya. Atau disebut juga sewa rahim (Surrogate Mother).
3. Teknik
bayi tabung dengan sperma dan ovum yang diambil dari bukan suami/isteri.
4. Teknik
bayi tabung dengan sperma yang dibekukan dari suaminya yang sudah meninggal.
B. HUKUM
DAN ETIKA REPRODUKSI BUATAN DI INDONESIA
Di Indonesia, hukum dan perundangan mengenai teknik
reproduksi buatan diatur dalam:
1. UU Kesehatan no. 36 tahun 2009, pasal 127
menyebutkan bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan
oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan:
a) Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri
yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
b) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk itu;
c) pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
2. Keputusan Menteri Kesehatan No.
72/Menkes/Per/II/1999 tentang Penyelenggaraan Teknologi Reproduksi Buatan, yang
berisikan: ketentuan umum, perizinan, pembinaan, dan pengawasan, Ketentuan
Peralihan dan Ketentuan Penutup.
3. Selanjutnya Keputusan MenKes RI tersebut dibuat
Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di Rumah Sakit, oleh Direktorat Rumah Sakit
Khusus dan Swasta, DepKes RI, yang menyatakan bahwa:
1). Pelayanan teknik reprodukasi buatan hanya dapat
dilakukan dengan sel sperma dan sel telur pasangan suami-istri yang
bersangkutan.
2). Pelayanan reproduksi buatan merupakan bagian
dari pelayanan infertilitas, sehingga sehinggan kerangka pelayannya merupakan
bagian dari pengelolaan pelayanan infertilitas secara keseluruhan.
3). Embrio yang dipindahkan ke rahim istri dalam
satu waktu tidak lebih dari 3, boleh
dipindahkan 4 embrio dalam keadaan:
• Rumah sakit memiliki 3 tingkat perawatan intensif
bayi baru lahir.
• Pasangan suami istri sebelumnya sudah mengalami
sekurang-kurangnya dua kali prosedur teknologi reproduksi yang gagal.
• Istri berumur lebih dari 35 tahun.
4. Dilarang melakukan surogasi dalam bentuk apapun
5. Dilarang melakukan jual beli spermatozoa, ova
atau embrio
6. Dilarang menghasilkan embrio manusia semata-mata
untuk penelitian, Penelitian atau sejenisnya terhadap embrio manusia hanya
dapat dilakukan apabila tujuannya telah dirumuskan dengan sangat jelas
7. Dilarang melakukan penelitian dengan atau pada
embrio manusia dengan usia lebih dari 14 hari setelah fertilisasi
8. Sel telur yang telah dibuahi oleh spermatozoa
manusia tidak boleh dibiakkan in-vitro lebih dari 14 hari (tidak termasuk waktu
impan beku)
9. Dilarang melakukan penelitian atau eksperimen
terhadap atau menggunakan sel ova, spermatozoa atau embrio tanpa seijin dari
siapa sel ova atau spermatozoa itu berasal.
10. Dilarang melakukan fertilisasi trans-spesies,
kecuali fertilisasi tran-spesies tersebut diakui sebagai cara untuk mengatasi
atau mendiagnosis infertilitas pada manusia. Setiap hybrid yang terjadi akibat
fretilisasi trans-spesies harus diakhiri pertumbuhannya pada tahap 2 sel.